Ulama sepakat bahwa shalat berjamaah di masjid hukumnya sunnah. Namun, terdapat perbedaan; apakah sunnah mu’akkad, atau yang lebih rendah lagi. Alhasil, kalangan yang malas menjadikan amalan ini sebagai unggulan senantiasa berdalih: Emang kenapa shalat di rumah? Berjamaah kan cuma sunnah!
Sekelompok kaum Muslimin lainnya justru menganggap shalat berjamaah sebagai fardhu kifayah. Jika sudah ada sebagian kaum Muslimin yang mengerjakannya di masjid, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi kaum Muslimin di sekitar masjid atau wilayah tersebut.
Jika pun memang fardhu kifayah, tidakkah kita menjadi orang yang tergerak bersegera sehingga mendapatkan banyak kemuliaan dan menggugurkan kewajiban saudara Muslim yang lain? Apalagi, para ulama juga menyepakati shahihnya hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah lebih utama dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat di banding shalat sendirian.
Selain itu, ada satu kisah agung yang dialami oleh Imam Ubaidillah bin ‘Umar al-Qawariry. Beliau merupakan salah satu guru utama Imam al-Bukhari yang kitab Shahihnya melegenda dan dirujuk oleh hampir seluruh kaum Muslimin di berbagai penjuru dunia.
Imam Ubaidillah ini sangat menjaga shalat berjamaah di masjid. Namun, suatu hari, beliau tertinggal dari menjalankan shalat ‘Isya berjamaah. Sebuah riwayat menyebutkan, beliau menerima tamu dan membicarakan urusan yang serius terkait umat.
Sepulangnya tamu tersebut, beliau bergegas menuju masjid. Rupanya, jamaah sudah bubar. Beliau pun berkeliling ke sekitar masjid hingga daerah yang jauh dengan satu tujuan; mencari kaum Muslimin yang belum melakukan shalat ‘Isya berjamaah.
Lama berkeliling dan bertanya kepada setiap orang yang ditemui, beliau mendapati jawaban yang sama, “Saya sudah shalat ‘Isya berjamaah.”
Alhasil, beliau pun pulang dan berniat shalat di rumah.
Sebagai salah satu ijtihadnya berdasarkan hadits keutamaan shalat berjamaah yang bernilai dua puluh tujuh derajat, Imam Ubaidillah pun melakukan shalat ‘Isya di rumahnya sebanyak dua puluh tujuh kali.
Kelar shalat, beliau tertidur. Di dalam tidurnya, beliau bermimpi. Mimpi inilah yang seharusnya membuat kita tercengang jika masih meremehkan shalat berjamaah di masjid bersama imam.
Di mimpinya, beliau tengah berlomba. Memacu kuda. Beberapa orang dikenali di dalam mimpi itu. Rupanya, kuda mereka melaju lebih kencang. Beliau pun memacu tunggangannya sekuat tenaga. Agar bisa menyusul kuda lainnya.
Lama. Tapi nihil. Kudanya tak bisa mengungguli kuda lain. Beliau tertinggal. Kudanya lambat.
Tak lama kemudian, datanglah seseorang seraya berkata, “Jangan dipaksa. Kau tidak akan bisa mengejar kami.”
Tanya sang Imam, “Memangnya kenapa?”
“Karena,” jawab sosok itu, “kami mendirikan shalat ‘Isya berjamaah.”
Ya Allah, kuatkan kami untuk senantiasa taat di jalan-Mu. Aamiin.
Wallahu a’lam